Rabu, 12 November 2014

sejarah masjid agung payaman




Masjid Agung Payaman Magelang


Awalnya keberadaan masjid ini hanya sebuah mushola, dibuat oleh Kiai Mudzakir seorang ulama yang berasal dari Jawa Timur untuk mengenalkan agama islam kepada warga sekitar. Berubah menjadi bentuk  masjid adalah pada tahun 1779 dengan bupati saat itu adalah Danuningrat yang merupakan bupati magelang ke tiga,  pada tahun 1935 Masjid mengalami revovasi yang dilakukan oleh Bupati magelang yang kelima yakni Danu Sugondo.
Sampai saat ini masih terdapat ruangan persegi empat dengan dinding berukir tahun 1779 dan berkelambu sebagai tempat khusus jika bupati berkenan sholat di masjid ini. Luas ruangan utama sebesar 100 meter persegi. Masjid ini juga mempunyai serambi kanan dan kiri sedangkan pada serambi depan dibuatkan sebuah kubah pada bangunannya yang berukuran 14 x 10. Pada masa pemerintahan walikota magelang tahun 1981 yakni A. Bagus Panuntun masjid ini dibuatkan serambi 6 x 20 dan menara, sedangkan pada masa pemerintahan H. Fahriyanto dibuatkan pagar disebelah utara serta merapikan tanah yang berada dihalaman Masijid yang kemudian di paving.
Masjid ini selama 24 jam penuh tidak pernah sepi dari jemaah, hal ini dikarenakan setiap saat ratusan jemaah yang rata rata sudahberusia lanjut dan berasal dari berbagai daerah di jawa tengah sengaja tinggal disekitar masjid  untuk mengikuti sholat berjamaah selama 40 hari. Dengan hal tersebut masyarakat memberikan fasilitas berupa asrama berlantai dua yang berada disebelah halaman masjid. Dan bagi yang tidak tertampung oleh asrama yang disediakan maka beberapa diantaranya menginap di rumah warga.

SEJARAH DAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG PAYAMAN

Masjid Agung Payaman ini merupakan pusat syiar agama Islam di Magelang dan sekitarnya ternyata berawal dari sebuah mushala yang dibangun Kiai Mudzakir lebih kurang 400 tahun lalu. Kiai dari Jawa Timur itu mendirikan mushala dalam upayanya mengenalkan agama Islam kepada masyarakat setempat. Tempat ibadah yang berlokasi di Jalan Tentara Pelajar atau sisi barat alun-alun Kota Magelang mulai diubah bentuknya dari mushala menjadi masjid pada saat Magelang dipimpin Bupati Ke-3 Magelang Danuningrat pada 1779. Selanjutnya pada 1935, masjid itu direnovasi lagi oleh Bupati Ke-5 Magelang Danu Sugondo. Sampai sekarang, di dalam masjid itu masih tersimpan tempat khusus untuk shalat bupati tempo dulu. Bentuknya kotak berukir buatan 1779. Bila sedang digunakan bupati untuk shalat maka kotak itu ditutupi kelambu.Ruang utama Masjid Agung Payaman berukuran 10 X 10 m. Masjid ini juga memiliki serambi kanan dan kiri, sedangkan serambi depan diberi kubah pada bangunanya ituberukuran 14 X 10 m.   Pada 1981, oleh Wali Kota Magelang Drs A Bagus Panuntun dibuatkan serambi 6 x 20 meter serta menara. Wali Kota H Fahriyanto membangunkan pagar sebelah utara serta meratakan tanah halaman masjid.

KEISTIMEWAAN MASJID AGUNG PAYAMAN

Keistimewaan dari keberadaan masjid ini adalah jamaahnya tidak pernah sepi selama 24 jam. Setiat saat sekitar seratusan jamaah yang usianya sudah lansia yang berasal dari berbagai daerah dijawa tengah sengaja tinggal disekitar masjid untuk mengikuti shalat berjamaah selama 40 hari. Masyarakat sekitar memfasilitasi mereka dengan membuatkan asrama berlantai dua yang berlokasi disebelah halaman masjid. Sebagian dari jamaah yang tidak tertampung menumpang dirumah warga. Mungkin karena merupakan masjid tertua di Magelang sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Masjid lainnya yang usianya juga relatif tua berlokasi di Payaman. Boleh dikatakan merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung. Yang tertua ketiga adalah masjid di Trasan, Banten.

BULAN ROMADHON DI MASJID AGUNG PAYAMAN

Selama bulan Puasa, masjid ini selalu ramai terutama mulai shalat zuhur hingga waktu shalat tarawih. Umat Islam yang shalat di situ tidak hanya warga Kota Magelang tetapi juga warga Kabupaten Magelang. Biasanya para jamaah sambil menunggu waktu sholat tiba, mereka yang bernazar atau berkeinginan berjamaah selama 40 hari itu mengaji Al-Qur’an di ruangan masjid. Mereka hanya sholat dan mengaji saja. Sedangkan, untuk kebutuhan sehari-hari ada yang membeli di warung-warung makan sekitar masjid, ada pula yang dikirima keluarganya, dan ada pula yang membayar uang makan bulanan kepada warga setempat.Setiap sore pada bulan Puasa, Masjid Agung selalu menyediakan makanan berbuka untuk 200-an orang berupa nasi bungkus dan minuman. Yang menyumbang makanan adalah warga Kauman di sekitar masjid secara bergantian. ”Sehabis shalat tarawih, juga disediakan takjil untuk 100 orang.” Jumlah jamaah memang mencapai puncaknya pada bulan Romadhon. Jumlah jamah bisa mencapai 300 orang. Semangat para Kakek-nenek ini patut menjadi contoh bagi kaum muda saat ini. Meski sudah rata-rata berusia uzur, namun semangat untuk mengisi waktu dengan beribadah tidak lantas jadi kendor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar